Sabtu, 15 Januari 2011

PERSEPSI

DI SEBUAH KOTA METRO POLITAN DILAKUKAN TES DENGAN HASIL MEMUASKAN, SEMENTARA DIKOTA BEKASI DARI TES YANG SAMA DIDAPAT NILAI JAUH LEBIH RENDAH DARI KOTA METRO POLITAN. BISAKAH MENYIMPULKAN KITA MENYIMPULKAN BAHWA ORANG METROPOLITAN PINTAR-PINTAR DAN SOAL MUDAH, SEMENTARA DIBEKASI SOALNYA TERGOLONG SULIT

Kamis, 27 November 2008

PENILAIAN YANG ”MENGEBIRI” KREATIVITAS SISWA

PENILAIAN YANG ”MENGEBIRI” KREATIVITAS SISWA

PENILAIAN YANG ”MENGEBIRI” KREATIVITAS SISWA
Oleh : Kholis Aliyudin

Selama ini penilaian hanya memberikan selembaran kertas (paper and pensil tes) dengan berbagai macam pertanyaan untuk dijawab oleh siswa, padahal banyak penilaian terhadap siswa sekaligus mengukur dan mengembangkan kreativitasnya. Sebagai contoh siswa belajar mengerjakan tugas berkelompok, melakukan pengamatan, wawancara, terjun kelapangan, survei, praktek di ingkungannya mengambil gambar dan menanyakan ide, apa yang diamati dan dilakukan akan lebih menyenangkan siswa dalam belajar dan sekaligus menilainya.
Dengan cara demikian siswa akan lebih tertantang untuk mengembangkan diri dan kreasinya sesuai dengan apa yang mereka amati atau kerjakan. Tehnik ini menambah informasi bagi para guru untuk memeriksa kembali pelajaran dan perencanaan berdasarkan pada pemahaman siswa, kemampuan dan minat yang jarang diperoleh dalam paper and pensil tes. 
 Beberapa tehnik penilaian yang dapat membangun keativitas menurut Peterson, dkk. (2006) adalah :
1. Photograph Interview; mampu menggali fakta, konsep-konsep, tampilan-tampilan dan penerapan-penerapannya.
2. Hot-house Approech; mampu menggali dasar ilmu pengetahun, sosial dan prilaku manusia
3. Inquiry Creativity; dapat mempelajari kreativitas: kelancaran, fleksibilitas, perbedaan pendapat dalam masalah pengamatan ilmu pengetahun
4. Focus Groups: memperlihatkan partisipasi dalam belajar, pencapaian kurikulum dan materinya.
5. Card Sorts: Mengembangkan ilmu pengetahun dan tingkahlaku, pembelajaran diri.

Cara-cara tersebut mengajarkan pentingnya membuat percobaan, mengambil fakta, mengamati dan mengambil informasi dengan mengambil gambar, mengamati kebun dengan berbagai tanamannya, mengamati bunga sehingga mereka tahu apa yang diamatinya. Mereka juga diajarkan bagaimana mengemukakan pendapat tentang pelajarannya, kurikulumnya, mengamati pelajaran dengan menampilkan video, tipe dan berbagai macam media pembelajaran kemudian diminta analisanya tentang apa yang barusan ditonton misalnya.
Selain pengamatan dan kerja kelompok yang dilakukan, mereka juga diminta menggambarkan kegiatan minggu yang lalu, tentang apa yang dilakukannya, diamatinya, kenapa, bagaimana cara menggunakan apa yang dipelajarinya. Bisa juga guru bertanya kenapa siswa melakukan hal itu, percobaan apa yang dipelajari, 
bagaimana ide siswa, apa prediksinya tentang hal yang dilakukan dan pertanyaan kenapa siswa tidak bisa melakukannya dan sebagainya. Jawabanya tergantung pada siswa dan pengalaman yg diperoleh. Dengan cara tersebut tentunya siswa akan banyak berpikir, mencari ide, cara mengingatnya, mengeluarkan imajinasinya, merenung dan mengalami kegagalan dan mengetahui jawabannya, yang semua itu diharapkan mampu mengembangkan dan membangun kreativitas para siswa sekaligus sebagai ajang penilaian bagi guru.
Berbagai cara, tehnik, media pembelelajaran digunakan dalam menggali kreativitas siswa. Bagi siswa yang kreative akan lebih pesat dayapikir dan imajinasinya tetapi bagi siswa yang lambat akan menyusahkan dirinya karena minimnya ide dan gagasan. Menghadapi siswa yang terakhir ini tentunya perlu cara yang disederhanakan tanpa membuat siswa prustasi karena susahnya mencari gagasan dan bagi siswa yang cerdas akan menuntut guru yang berpengalaman dalam mencari ide baik masalah, cara maupun tempat. 
Kesimpulan 
 Tugas guru sebenarnya bagaimana mengoptimalkan setiap potensi anak didiknya termasuk didalamnya meningkatkan kreativitas siswa. Kreativitas tersebut dapat ditumbuhkan bila guru mampu menerapkan berbagai macam jenis penilaian. Namun demikian untuk mencapai hal tersebut diatas tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena perlu dipersiapkan beberapa hal dan itu menyangkut kebijakan dari sekolah juga departemennya. Persiapan tersebut adalah:
1. Guru harus lebih kreativ dan akan lebih baik jika guru lebih dari satu orang (team teaching) untuk satu pelajaran sehingga dapat membimbing setiap kegiatan siswa.
2. Diperlukan media, alat dan bahan praktek yang memadai, sehingga penialain bisa dilihat dari berbagai sisi dan hal itu tentunya akan menambah biaya pendidikan. 
3. Menambah jam belajar sesuai dengan jurusannya dan mengurangi atau menghilangkan mata pelajaran yang tidak begitu penting. Hal itu perlu dipikirkan karena bagiamanapun praktek atau pengambilan fakta dan observasi berikut penilaiannya memerlukan waktu yang tidak sedikit.
4. Cara tersebut akan lebih efektif bila mengelola siswa dalam jumlah yang sedikit (grup) sehingga kemampuan tiap siswa dan penerapan berbagai penialaian dapat dilakukan dengan mudah, bila siswanya banyak kemungkinan tujuan dari materi berikut penilaiannya kurang optimal.


POSITVISME DAN PERKEMBANGANNYA

Positivisme merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825). Positivisme berakar pada empirisme karena kedekatan keduanya yang menekankan logika simbolik sebagai dasar. Prinsip filosofik tentang Positivisme dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon. Dalam psikologi pendekatan positif erat dikaitkan dengan behaviorisme, dengan fokus pada observasi objektif sebagai dasar pembentukan hukum.
 Tesis Positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian Positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek dibelakang fakta, menolak segala penggunaan metoda diluar yang gunakan untuk menelaah fakta.
 Dalam perkembangannya ada dua Positivisme, yaitu : Positivisme sosial dan Positivisme evolusioner.
• Positivisme Sosial
 Merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah. Agust Comte dan John Stuart Mill merupakan tokoh-tokoh utama positivisme sosial. Positivisme sosial mengembangkan ilmu terutam untuk mengembangkan organisasi sosial.
• Positivisme Evolusioner
 Berangkat dari phisika dan biologi. Digunakan dokrin evolusi biologik
• Positivisme Kritis
 Teori tentang konsep, hukum ilmiah dan kausalitas pada positivisme kritis ini brbeda dengan positivisme tradisional . Menurut Mach, konsep merupakan abstraksi selektif atas sejumlah fakta yang pemilihannya lebih didominasi oleh biologik
• Positivisme Logis
Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Kritik
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

   
ESENSI PENGENDALIAN EKSPERIMEN DALAM ILMU PENDIDIKAN 
 
A. Pendahuluan 
  Ciri umum pengembangan ilmu pengetahuan adalah dilakukannya penelitian-penelitian ilmiah bagi cabang ilmu pengetahuan yang ada. Makin banyak penelitian dilakukan bagi suatu cabang ilmu maka makin kokoh keberadaan cabang ilmu tersebut di lingkungan keilmuan, dan makin profesional pula kemungkinan penerapan cabang ilmu tersebut. 
  Ilmu pendidikan, sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial, merupakan cabang ilmu yang relatif muda dan masih harus terus menerus memperjuangkan eksistensinya agar benar-benar berterima serta tidak inferior terhadap cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain, khususnya terhadap ilmu-ilmu alam (natural sciences). Dalam melaksanakan berbagai penelitian ilmiah dalam bidang pendidikan, sebagian ahli pendidikan tentu saja akan sampai pula pada pengamatan hubungan antar fenomena yang bercorak hubungan sebab-akibat (causal relationship). Untuk menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel ini jenis penelitian yang perlu banyak dilakukan dan yang mempunyai daya penjelasan terbaik atau terkuat adalah jenis eksperimen. 
  Untuk melaksanakan dan mendapatkan hasil penelitian jenis eksperimen yang sebaik-baiknya, peneliti atau calon peneliti pendidikan harus benar-benar memahami dahulu ciri-ciri serta persyaratan pelaksanaan penelitian eksperimen itu sendiri. Hal ini perlu demikian adanya agar para peneliti tidak terjebak dalam pengambilan kesimpulan yang salah (bias) atas hasil-hasil penelitiannya. Penelitian jenis eksperimen mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri sehingga kemungkinan keterpakaiannya dalam suatu cabang ilmu berbeda-beda antara satu dengan yang lain, tergantung pada karakteristik dari cabang-cabang ilmu yang hendak menggunakannya. 
  Makalah ini mencoba mengangkat sebagian isu penting penelitian jenis eksperimen dalam rangka berandil guna bagi kejelasan dan pemantapan pengembangan penelitian-penelitian pendidikan yang sedang atau akan dilakukan para peneliti pendidikan, khususnya dari kalangan sivitas akademika IKIP dan sejenisnya. 
  
B. Logika Dasar Eksperimentasi 
  Eksperimentasi dimulai dengan mengembangkan hipotesis hubungan sebab-akibat antara variabel terikat dan variabel bebasnya. Selanjutnya dilakukan berturut-turut: pengukuran nilai (kualitas) variabel terikatnya (pretest), mengenakan perlakuan (kondisi pengubah nilai) terhadap variabel bebasnya, dan mengukur kembali nilai variabel terikatnya (posttest) untuk melihat ada tidaknya perubahan nilai (kualitas). Masalah pokok dalam melaksanakan eksperimen adalah menjaga kondisi eksperimen sedemikian sehingga tidak ada faktor lain yang sempat menyertai jalannya eksperimen yang dapat mengacaukan atau mengaburkan pengukuran hasil penelitian (posttest). 
  Di sisi lain, suatu eksperimen adalah suatu kegiatan empirik yang ciri hakikinya justru terikat pada ruang dan waktu. Selama berada dalam kondisi ruang dan waktu eksperimen, khususnya yang terkait dengan ruang yang luas dan waktu yang lama, kemungkinan bagi proses eksperimen untuk tidak terganggu dari faktor yang tidak diinginkan sungguh merupakan hal yang sulit terjadi kalau tidak dapat dikatakan mustahil. Seni melaksanakan eksperimen terletak pada usaha dan kemampuan peneliti untuk melindungi jalannya eksperimen dari segala gangguan dari luar yang dapat mempengaruhi hasil eksperimen. 
  Bobot perlindungan eksperimen dari gangguan luar ini disebut keterlindungan atau closure. Kualitas eksperimen, dan pada gilirannya juga keterpakaian atau kegunaan hasil eksperimen, akan sangat ditentukan oleh bobot atau kekokohan keterlindungannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengembangan dan perkembangan berbagai ragam rancangan eksperimen pada hakikatnya adalah aktualisasi dari penguatan keterlindungan ragam rancangan eksperimen termaksud. 
  
C. Penerapan Eksperimen dalam Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu Sosial 
  Dalam eksperimen pada ilmu-ilmu alam peneliti secara relatif mempunyai kemampuan melindungi variabel (closure) yang tinggi dengan cara membuat lingkungan buatan sehingga menutup kemungkinan pengaruh dari luar. Di sini dikatakan bahwa peneliti memiliki closure yang sempurna. Di sisi lain, karena ilmu-ilmu sosial terkait dengan subjek yang berujud manusia, pengendalian-pengendalian tersebut akan terikat dengan aspek-aspek etis, moral, dan pertimbangan-pertimbangan hukum. Selain itu, peneliti juga tidak dapat mengubah unsur-unsur pribadi subjeknya, misalnya, seks, umur, status ekonomi, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. 
  Jadi, tampak bahwa eksperimen memang merupakan metode yang dapat dan tepat serta umum dipakai untuk mengumpulkan data dalam ilmu-ilmu alam, namun, dengan alasan seperti tersebut di atas, jenis eksperimen memang kurang luas dan cukup sulit serta rumit untuk dapat digunakan dalam ilmu-ilmu sosial. Walaupun demikian, untuk dapat melaksanakan eksperimen, peneliti ilmu-ilmu sosial dapat menggunakan sejumlah kendali yang bercorak simbolik, yaitu tidak dengan mengubah nilai-nilai dari subjeknya, melainkan mempertahankan nilai-nilai itu tetap selama eksperimen dilaksanakan, misalnya, peneliti memang tidak dapat mengubah kelamin subjeknya, tetapi peneliti dapat menganalisis secara terpisah untuk seks yang berbeda. 
  Dalam sebagian besar eksperimen bidang ilmu-ilmu sosial, khususnya bidang pendidikan, pengendalian penuh kondisi eksperimen umumnya tidak dapat dilaksanakan. Dengan subjek berupa manusia, secara teoritik, akan ada beribu-ribu faktor yang mungkin mengotori suatu eksperimen. Hakikat cara untuk mengurangi pengotoran tersebut adalah membuat eksperimen termaksud sesingkat mungkin (pengendalian aspek waktu) dan dilakukan dalam ruang (tempat) yang terbatas dan terlindung (laboratorium). Bila penyingkatan waktu dan penggunaan laboratorium ini tidak dimungkinkan, maka peneliti harus puas atau sadar untuk menerima kenyataan bahwa hasil eksperimen yang diukurnya (posttest) pasti telah terkotori oleh faktor-faktor lain yang tidak diperhitungkan dalam eksperimen termaksud. Langkah selanjutnya yang perlu diambil adalah bahwa peneliti harus berusaha mengukur semua pengaruh-pengaruh dari luar tersebut, dan kemudian mengeluarkannya dari nilai perbedaan antara posttest dan pretest yang didapatnya, sehingga sisa dari pengeluaran itu dapat dianggap (syah) sebagai hasil perlakukan eksperimen yang dimaksudkan. Bagaimana caranya? 
  Secara umum, cara yang dapat dilakukan untuk menghindari salah ukur dan salah tafsir terhadap hasil eksperimen adalah menggunakan dua kelompok amatan, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok pembanding. Terhadap dua kelompok ini harus dapat dikenai dua asumsi pokok, yaitu, pertama bahwa subjek pada kedua kelompok mempunyai karakteristik yang sama. Kedua, baik pretest maupun faktor-faktor lain yang mempengaruhi subjek pada kedua kelompok mempunyai bobot yang sama pula. 
  
D. Validitas Dalam pada Rancangan Eksperimen 
  Sekarang telah banyak tersedia rancangan-rancangan eksperimen tertentu yang sengaja dikembangkan untuk meniadakan pengaruh-pengaruh tertentu yang disesuaikan dengan tujuan penelitian eksperimen yang tertentu pula. Rancangan-rancangan khusus tersebut, yaitu rancangan yang mengandung usaha-usaha untuk meyakinkan adanya kebenaran (ketepatan dan kecermatan) hasil eksperimen, adalah hasil aktualisasi usaha untuk meningkatkan validitas dalam (internal validity) dari rancangan-rancangan eksperimen yang bersangkutan. 
  Untuk rancangan eksperimen yang dapat mengembangkan perlindungan penuh terhadap jalannya eksperimen atau rancangan eksperimen yang dapat mencapai penjelasan yang cukup akurat terhadap proses pengukuran hasil eksperimennya (melaksanakan berbagai usaha kompensasi terhadap segala atau berbagai pengotoran yang mungkin) atau rancangan eksperimen yang mempunyai validitas dalam yang sempurna disebut rancangan eksperimen murni (True Experimental designs). Untuk rancangan eksperimen yang hanya dapat mengembangkan perlindungan sebagian terhadap jalannya eksperimen atau rancangan eksperimen yang hanya dapat mencapai sebagian saja penjelasan yang cukup akurat terhadap proses pengukuran hasil eksperimennya atau rancangan eksperimen yang mempunyai validitas dalam yang hanya memadai disebut rancangan eksperimen kuasi (Quasi Experimental Designs). Sedangkan rancangan eksperimen (rancangan yang mengenakan perlakuan terhadap subjek) namun tidak mengembangkan perlindungan terhadap jalannya eksperimen atau rancangan yang tidak mempunyai validitas dalam yang memadai disebut rancangan pra-eksperimen (Pre-Experimental Designs atau Nondesigns). 
  Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi bobot atau kualitas validitas dalam suatu rancangan eksperimen atau faktor-faktor yang mungkin mengotori jalannya eksperimen berserta kemungkinan kompensasinya adalah sebagai berikut. 
  
 1. Pengotoran karena Sejarah (History) 
  Dalam penelitian istilah "history" dimaksudkan sebagai semua kejadian di luar yang dimaksudkan dari suatu eksperimen yang muncul bersamaan dengan saat dilakukannya suatu eksperimen sehingga sangat mungkin mengukur hasil eksperimen terganggu atau terkotori oleh adanya kejadian tersebut. Untuk menghindari hal ini umumnya digunakan suatu grup pembanding yang dalam segala aspek terkena kejadian luar yang sama dengan kejadian luar yang mengenai kelompok eksperimen. Bedanya hanyalah bahwa kelompok pembanding tidak dikenai perlakuan eksperimen yang hendak diamati. Bila pengukuran nilai yang diamati pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan, maka sangat mungkin perbedaan tersebut adalah akibat perlakuan eksperimen itu sendiri. 
  
 2. Pengotoran karena Pemilihan (Selection) 
  Pada suatu eksperimen mungkin saja kelompok subjek yang dikenai perlakuan kebetulam mempunyai karakteristik tertentu yang justru bersesuaian atau bertentangan secara khusus dengan unsur yang dieksperimenkan. Dengan demikian, hasil eksperimen ini menjadi bersifat khusus sehingga tidak dapat digeneralisasikan seperti yang dirancangkan. Untuk menghindari hal ini subjeknya harus dikenai randomisasi pemilihan baik untuk masuk sebagai anggota dalam kelompok eksperimen maupun untuk kelompok pembanding. Untuk usaha randomisasi ini telah tersedia berbagai cara yang perlu dipilih bersesuaian dengan bentuk dan tujuan rancangan eksperimennya. 
  
 3. Pengotoran karena Kematangan (Maturation) 
  Bias kematangan terkait dengan proses perubahan yang terjadi dengan sendirinya dalam diri subjek yang dikenai perlakuan eksperimen. Khususnya untuk jenis eksperimen yang membutuhkan waktu yang lama, sehingga selain terkena perlakuan, subjek yang bersangkutan dengan sendirinya sudah berubah karakteristiknya. Cara mengatasinya adalah juga dengan menyediakan kelompok pembanding yang mempunyai sifat pertumbuhan kematangan yang sama dengan pertumbuhan kematangan kelompok eksperimen. Atau dapat pula dengan cara, kalau dimungkinkan, menggunakan rentang waktu perlakuan yang sangat pendek, sehingga pertumbuhan yang ada masih dapat diabaikan pengaruhnya. 
  
  4. Pengotoran karena Tes (Testing) 
  Pengalaman pernah mengikuti tes yang sejenis, misalnya pretes, sangat mungkin memberikan pengaruh pada proses pengerjaan tes berikutnya, misalnya postes, sehingga hasil postes ini tidak murni lagi menggambarkan pengaruh perlakuan yang dieksperimenkan, melainkan tercampur dengan pengaruh pengalaman mengikuti tes sebelumnya. Kompensasinya adalah dengan menyediakan kelompok pembanding tambahan yang juga dikenai perlakuan namun tidak dikenai pretes.
  5. Pengotoran karena Instrumen (Instrumentation) 
  Pengamat, evaluasi atau evaluator, penginterviu (semacam bentuk instrumen) dan bagian-bagian instrumen penelitian yang lain yang disertakan dalam perjalanan waktu eksperimen sangat mungkin berubah kondisi dari waktu ke waktu, misalnya, kelelahan, kejenuhan, keantusiasan, keterpesonaan, keausan dan lain-lain yang akan mempengaruhi objektvitas pengamatan atau penilaiannya. Dengan demikian pengukuran hasil akhir eksperimen dengan sendirinya ternoda atau terkotori. Kompensasi untuk kondisi ini adalah persiapan antisipatif yang matang terhadap kemungkinan itu sendiri.
  6. Pengotoran karena Regresi Statistik (Statistical Regression) 
  Dalam melakukan analisis statistik tertentu, sangat mungkin ada langkah-langkah yang sengaja dilakukan demi penyederhanaan atau kepraktisan pelaksanaan, misalnya penyeleksian subjek dengan intervalisasi atau kategorisasi kelompok sekor tinggi dan rendah dengan sekor tertentu yang kasar atau berbeda tajam. Langkah-langkah ini tentu saja mengurangi kemurnian pengukuran hasil penelitian, karena akan terjadi kecenderungan pada postes pengisian bagian sekor yang hilang. Yang ekstrem tinggi cenderung direndahkan, sedang yang ekstrem rendah cenderung dinaikkan. Kompensasinya adalah menghindari seleksi dengan sekor ekstrem. 
  
  7. Pengotoran karena Subjek Gugur (Experimental Mortality) 
  Bila yang gugur justru subjek-subjek pokok yang diamati dalam eksperimen jelas hasil akhir eksperimen akan tidak memadai. Kompensasinya adalah menggunakan sampel yang cukup besar dan randomisasi yang cukup sempurna.
  8. Pengotoran karena Kestabilan (Stability) 
  Perubahan-perubahan yang bersifat kebetulan atau spo¬radik sangat mengganggu kemurnian hasil eksperimen. Hal ini dapat diketahui dengan berbagai cara tes statistik. Untuk kompensasi hal ini belum ada saran yang dapat diajukan. 
  
  9. Pengotoran karena Kombinasi Interaktif (Interactive Combinations of Factors) 
  Pengotoran ini sangat banyak ragamnya, khususnya eksperimen yang menginklusikan banyak variabel. Kompensasinya adalah dengan pengembangan teoritisasi hubungan antar variabel yang secermat mungkin, termasuk kemungkinan hubungan interaktifnya. 
 
  10. Pengotoran karena Harapan (Expectancy) 
  Karena satu dan lain hal, pelaksana perlakuan eksperimen, secara sadar atau tidak sadar, sangat mungkin mempunyai pengharapan tertentu atas berhasilnya eksperimen. Akibat dari adanya harapan ini sangat mungkin tanpa sadar yang bersangkutan memberikan secara nyata atau tersirat hal-hal atau kunci-kunci keberhasilan eksperimen kepada subjek eksperimen. Dengan demikian pengukuran hasil eksperimen akan dikotori dengan pengaruh harapan pelaksana eksperimen tersebut. Kompensasinya, antara lain, adalah mengkondisi pelaksana agar tidak tahu atau tidak sadar kalau sedang melakukan eksperimen. 
  
E. Kesimpulan 
  Eksperimen merupakan metode dengan kendali yang tinggi untuk menunjukkan keberadaan hubungan sebab-akibat (causal relationship) antara satu atau lebih variabel bebas dan satu atau lebih variabel terikat. Pada eksperimen yang ideal peneliti melakukan kendali atau kontrol terhadap lingkungan di tempat eksperimen tersebut dilakukan dan menjaga agar kondisi lingkungan tersebut tetap agar faktor-faktor luar tidak mempengaruhi jalannya ekpserimen. 
  Telah tersedia berbagai rancangan eksperimen yang mempunyai sistem kendali yang berbeda-beda terhadap kemungkinan-kemungkinan pengotoran pengukuran hasil eksperimen. Rancangan ini perlu dipilih oleh calon peneliti sesuai dengan tujuan penelitian serta kemampuan umum penanganannya. 
  
Kepustakaan 
  
Tuckman, B.W. (1978). Conducting Educational Research. Second Edition. New York: Harcourt Brace Jovanovich, publishers. 
  
Bailey, Kenneth D. (1976). Methods of Social Research. London: Collier Macmillan Publishers. 
  

Selasa, 25 November 2008